Provinsi Jawa Timur
- Kabupaten Bangkalan
- Kabupaten Banyuwangi
- Kabupaten Blitar
- Kabupaten Bojonegoro
- Kabupaten Bondowoso
- Kabupaten Gresik
- Kabupaten Jember
- Kabupaten Jombang
- Kabupaten Kediri
- Kabupaten Lamongan
- Kabupaten Lumajang
- Kabupaten Madiun
- Kabupaten Magetan
- Kabupaten Malang
- Kabupaten Mojokerto
- Kabupaten Nganjuk
- Kabupaten Ngawi
- Kabupaten Pacitan
- Kabupaten Pamekasan
- Kabupaten Pasuruan
- Kabupaten Ponorogo
- Kabupaten Probolinggo
- Kabupaten Sampang
- Kabupaten Sidoarjo
- Kabupaten Situbondo
- Kabupaten Sumenep
- Kabupaten Trenggalek
- Kabupaten Tuban
- Kabupaten Tulungagung
- Kota Batu
- Kota Blitar
- Kota Kediri
- Kota Madiun
- Kota Malang
- Kota Mojokerto
- Kota Pasuruan
- Kota Probolinggo
- Kota Surabaya
Nama Resmi : Kabupaten Tuban
Ibukota : Tuban
Tanggal berdiri : 12 November 1293
Bupati : Aditya Halindra Faridzky, SE.,
Wakil Bupati :H. Riyadi, SH.
Luas Wilayah : 1.839,94 km²
Jumlah Penduduk : 1.154.269 jiwa
Wilayah Administrasi : Kecamatan : 20
Kelurahan :17 Desa : 311
Alamat : Jl. Kartini No.2, Kutorejo, Kec. Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur 62311
F : -
W : www.www.tubankab.go.id
Jumlah Kecamatan di Kabupaten Tuban ada 20:
Kecamatan Bancar.
Kecamatan Bangilan.
Kecamatan Grabagan.
Kecamatan Jatirogo.
Kecamatan Jenu.
Kecamatan Kenduruan.
Kecamatan Kerek.
Kecamatan Merakurak.
Kecamatan Montong.
Kecamatan Palang.
Kecamatan Parengan.
Kecamatan Plumpang.
Kecamatan Rengel.
Kecamatan Semanding.
Kecamatan Senori.
Kecamatan Singgahan.
Kecamatan Soko.
Kecamatan Tambakboyo.
Kecamatan Widang.
Kecamatan Grabagan.
Sejarah
a. TUBAN SAAT PEMERINTAHAN AIRLANGGA.
Rupanya hal ini disebabkan karena Tiongkok, di mana perniagaan luar negeri menjadi urusan pemerintah, semata-mata berdagang dengan Sriwijaya seperti dahulu. Pelabuhan Tuban menurut pengaturan jalan-jalan menghubungkan kota tersebut dengan pusat negara yang mungkin sekali letaknya agak ke dalam.
Sejumlah prasasti dari zaman Airlangga yang didapat di daerah Babat, Ngimbang dan Ploso, menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke Babat menuju ke Jombang mendapat perhatian yang besar dari Airlangga.
b. BUKU YING YAI SHENG LAN.
Berita Tionghwa yang sangat penting, adalah uraian Ma Hua dalam bukunya Ying Yai Shing Lan. Ma Huan adalah orang Tionghwa beragama Islam, yang mengiringi Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga (1413 —1415) ke daerah-daerah lautan selatan. Kecuali soal-soal mengenai keadaan berbagai daerah yang ber-hubungan dengan kedudukan politiknya, yang sangat menarik perhatian adalah uraian Ma Huan tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya.
Kalau orang pergi ke Jawa, katanya, kapal-kapal lebih dahulu sampai ke Tuban. Kemudian dengan melalui Gresik yang banyak penduduknya Tionghwa, orang tiba di Surabaya. Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil berlayar ke Canggu.
Melalui jalan darat, orang kemudian pergi ke arah selatan dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya sejumlah kira-kira 300.000 orang.
Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari emas, memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua bilah keris. Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu. Rakyatnya pun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya. Mereka biasa makan sirih, senang mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain-main bersama waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber (wayang yang adegan-adegan ceriteranya digambar di atas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara dua belah kayu.dan diceriterakan isinya oleh dalang).
Penduduk Majapahit terdiri atas tiga golongan ; orang-orang Islam yang datang dari barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibu kota, orang Tionghwa yang banyak pula memeluk agama Islam dan rakyafcte- lebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka.
c. BUKU LING – WAI – TAl – TA
Dari hasil-hasil kesusasteraan dapat pula diketahui sedikit ba-gaimana keadaannya dalam zaman Kediri. Tetapi masih menarik perhatian ialah keterangan-keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghwa. Kitab Ling wai tai ta yang disusun oleh Chou Ku Fei dalam tahun 1178 memberikan gambaran yang tidak didapat dari lain sumber tentang pemerintahan dan masyarakat Kediri. Dikatakan misalnya, bahwa orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut, sedangkan rambutnya diurai.
Rumah-rumahnya sangat rapi dan bersih. Lantainya dari ubin yang berwarna hijau dan kuning. Pertanian, peternakan dan perdagangan mengalami kemajuan dan perhatian dari Pemerintah. Pun ada pemeliharaan ulat sutra dan kapas. Hukuman badan tidak ada, orang-orang yang bersalah didenda dan pembayaran berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dibunuh. Untuk perkawinan, keluarga anak perempuan menerima maskawin berupa sejumlah emas.
Alat pembayaran adalah mata uang dari perak. Orang sakit bukan menggunakan obat, melainkan memohon sembuh kepada dewa-dewa dan kepada Budha Tiap bulan ke 2 diadakan pesta air, dan orang ber-perahu-perahu penuh kegembiraan; tiap bulan 10 perayaan ber-langsung di gunung dan orang berduyun-duyun ke sana untuk ber-senang-senang. Alat-alat musiknya terdiri atas seruling gendang dan gambang dari kayu.
Tentang sang raja sendiri dikatakan, bahwa ia berpakaian sutra, bersepatu kulit dan memakai perhiasan-perhiasan dari emas. Rambutnya disanggul di atas kepala. Setiap hari ia menerima pe-jabat-pejabat dan mengurus pemerintahan. Maka ia duduk diatas , singgasana yang berbentuk segi empat. Sehabis sidang para pejabat itu menyembah tiga kali, baru mengundurkan diri.
Jika raja ke-luar, naik gajah ataupun kereta, ia diiringi 500 sampai 700 orang prajurit dan rakyat di tepi jalan semuanya jongkok sampai raja lewat. Dalam pemerintahan sang raja dibantu oleh 4 orang menteri terkemuka, yaitu rakryan kanuruhan, rakryan maha mantri i hulu, rakryan mahamantri i rangga dan rakryan mahapatih. Mereka ini tidak menerima gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu menerima hasil bumi atau lainnya.
Selanjutnya pemerintahan dilakukan oleh 300 orang pegawai, yang memegang tata buku dan tata usaha : 1000 orang pegawai rendahan bertugas mengurus per-bentengan, perbendaharaan negara, gudang-gudang persediaan dan keperluan-keperluan para prajurit. Panglima tentara setiap se-tengah tahun mendapat 10 tail emas dan para prajurit yang ber-jumlah 30.000 mendapat bayarannya setengah tahun sekali pula dan besarnya gaji sesuai dengan pangkatnya.
Demikianlah keterangan yang diperoleh dari sumber Tionghwa. Hal-hal tersebut juga terdapat dalam Kitab Chu-fan-chi- oleh Chau-Ju-Kau tahun 1225. Dalam buku tersebut diceriterakan juga, bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan terkaya, pertama ialah Jawa dan kedua Sriwijaya. Di Jawa ada dua macam agama yaitu agama Budha dan agama para pertapa (maksudnya Hindu). Rakyatnya lekas naik darah dan berani berperang, kesukaannya ialah mengadu ayam. Mata uangnya dibuat dari logam campuran tembaga, perak dan timah.
Cikal Bakal Penguasa Negeri Tuban
Cikal bakal yang menurunkan adipati di Tuban adalah Prabu Banjaransari, raja di Negeri Pajajaran (Atmodiharjo, 1984 :44). Karena beliau dikarunia banyak putra, dan salah satu dari keturunannya yang dikemudian hari menurunkan silsilah adipati Tuban.

Kala itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di dekat Ciamis sedang mengalami puncak kejayaan. Kemakmuran dan keadilan benar-benar dirasakan oleh rakyat mulai dari ibukota kerajaan sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Prabu Banjaransari yang bertahta adalah sosok yang sangat bijaksana sehingga dielu-elukan oleh rakyatnya. Kemasyhuran nama Prabu Banjaransari tidak hanya menjadi buah bibir rakyatnya saja, akan tetapi keharuman namanya telah merambah sampai ke negeri-negeri manca.
Baginda raja juga dikaruniai banyak putra dan cucu. Salah satu putra beliau adalah Raden Haryo Metahun. Berkah dari perkawinannya, R. Haryo Metahun dikaruniai putra bernama Haryo Randukuning.
Suatu hari Raden Arya Randukuning meminta izin ayahanda dan ibundanya untuk mengembara jauh ke timur. Tentu saja, niatnya itu ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya. Namun, Prabu Banjaransari ketika mengetahui alasan cucunya mengembara untuk menyempurnakan ilmu dan menambah pengetahuan, maka segeralah baginda memberinya restu.
Sejak saat itu Raden Arya Randukuning meninggalkan kehidupan istana yang serba mewah. Ia memilih mengembara ke arah timur menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tak peduli siang atau malam, Raden Arya Randukuning terus berjalan menembus tebalnya hutan jati.
Sesampainya di kaki gunung Kalakwilis, Jenu, Raden Arya Randukuning bekerja keras membuka hutan Srikandi yang membentang di sepanjang daerah pantai. Atas kegigihan dan kesaktiannya, hutan itu dalam waktu sekejap berhasil diubah menjadi perkampungan bahkan akhirnya menjadi sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten Lumajang Tengah. Setelah menjadi adipati di Lumajang Tengah, Raden Arya Randukuning bergelar Kyai Ageng ( Kyai Gede Lebe Lontang).
Di dalam Babad Tuban dikisahkan, ketika berkuasa di Lumajang Tengah, Kyai Gede Lebe Lontang berhasil memimpin rakyatnya untuk menapaki kemakmuran. Stabilitas Kadipaten Lumajang Tengah sangat terjamin mengakibatkan keamanan dan kemakmuran rakyatnya terjaga. Masyarakat kecil tidak kekurangan suatu apa. Hewan-hewan piaraan berkembang biak dengan pesat. Walau hewan-hewan piaraan itu berkeliaran secara bebas, tak seorang pun berani mengambil yang bukan menjadi hak miliknya.
Begitu pula para durjana sama sekali tidak bisa berkutik karena kewibawaan sang adipati. Beliau mempunya budi pekerti yang amat luhur dan patut dijadikan teladan bagi para bawahannya. Hal itulah yang membuat para abdi pemerintah dengan penuh kesadaran menjalankan roda pemerintahan secara jujur. Kyai Gede Lebe Lontang berhasil menjalankan pemerintahan di Lumajang Tengah selama ±20 tahun. Kabupaten Lumajang Tengah itu, sekarang menjadi dusun yang bernama Banjar, Kecamatan Jenu.
Kyai Gede Lebe Lontang dikarunia seorang putra bernama Raden Arya Bangah. Sesudah ayahandanya mangkat, Arya Bangah menolak untuk naik tahta menggantikan ayahnya sebagai adipati di Lumajang Tengah. Ia memilih berkelana bersama pengikutnya ke arah selatan.
Sesampai di kaki pegunungan kapur Rengel, Arya Bangah dan para pengikutnya bahu-membahu membuka hutan untuk dijadikan perkampungan.
Siang dan malam Arya Bangah dan para pengikutnya bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya. Setelah berhasil, tempat baru itu diberinya nama Kabupaten Gumenggeng. Raden Aryo Bangah saat menjalankan pemerintahan di Gumenggeng selama ±22 tahun lalu meninggal dunia. Bekas Kadipaten Gumenggeng tersebut sekarang menjadi Pedukuhan Gumeng, Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel.
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Raden Aryo Dhandhang Miring. Semenjak muda, Raden Aryo Dhandhang Miring senang menjalankan tapa brata. Ketika melaksanakan tapa brata itulah Raden Aryo Dhandhang Miring mendapatkan ilham yaitu setelah ayahnya mangkat, Raden Aryo Dhandang Miring tidak boleh melanjutkan pemerintahan ayahandanya di Gumenggeng karena cita-citanya yang mulia dan luhur tidak akan terlaksana. Raden Aryo Dhandang Miring harus membuka areal hutan sendiri yang terletak di arah barat laut Gumenggeng. Segala cita-citanya baru berhasil jika putranya kelak membuka hutan bernama Papringan.
Selanjutnya Raden Aryo Dhandang Miring dan para prajuritnya menuju ke barat laut untuk membuka hutan bernama Ancer – Ancer. Setelah hutan tersebut menjadi pemukiman, maka diberi nama Kadipaten Lumajang. Raden Aryo Dhandang Miring memerintah Kadipaten Lumajang selama ± 20 tahun.
Tersebutlah kisah, tatkala itu Raden ARYA DANDANG WACANA sedang membuka tanah yang masih berupa hutan bambu yang bernama Papringan, tanpa diduga – duga sebelumnya muncullah sebuah keajaiban dengan keluarnya air yang dalam istilah jawa disebut (meTu) dan (Banyune),dan jika dirangkaikan menjadi TUBAN.
Peristiwa itu oleh Raden ARYA DANDANG WACANA dijadikan sebagai tonggak sejarah dalam memberi nama tanah tersebut dengan nama TUBAN, dan selanjutnya kita kenal dengan nama Kabupaten Tuban, Sementara itu sejarah pemerintahan Kabupaten Tuban diawali pada jaman Majapahit, tepatnya ketika peristiwa agung pelantikan RONGGOLAWE untuk menjadi adipati Tuban pertama oleh Raja Majapahit Raden WIJAYA. Peristiwa pelantikan itu dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 1293, yang pada akhirnya oleh Pemerintah Kabupaten Tuban tanggal 12 Nopember dijadikan sebagai Hari Jadi Tuban.
Versi lain mengenai nama Tuban ini dapat kita lihat dalam buku Hari Jadi Tuban (1986:14) sebagai berikut:
Tuban berasal dari kata Watu Tiban. Hal ini dikaitkan dengan sebuah cerita bahwa ketika kekuasaan Majapahit berakhir, maka harta kekayaan Majapahit dipindahkan ke Demak. Barang-barang yang dipindahkan ke Demak tersebut termasuk adalah pusaka yang berbentuk Yoni. Guna memindahkannya, maka dipercayakan kepada sepasang burung bangau. Sesampai di Tuban, burung-burung tersebut diolok-olok oleh anak-anak yang sedang menggembala. Tampaknya, sepasang burung bangau itu tersinggung dan menjatuhkan barang bawaannya. Daerah tempat jatuhnya batu pusaka tersebut kemudian diberi nama Tuban kependekan dari Wa (Tu) Ti (Ban).
- Menurut kebiasaan masyarakat Tuban yang mudah diarahkan untuk melaksanakan tugas guna membangun negerinya. Sifat-sifat seperti itu dalam bahasa Jawa disebut “Nges (Tu) ake kewaji (Ban).”
- Menurut bahasa Jawa Kawi, Tuban berarti Jeram (Wojowasito, 202). Kata Jeram dalam Bau Sastra Djawa-Indonesia karangan S. Prawiroatmojo diartikan sebagai air lata atau bisa berarti air terjun.
- Menurut pendapat Drs. Soekarto (dalam Hari Jadi Tuban, 1986:17) kata Tuban berasal dari kata Tubo yaitu sejenis tanaman yang dapat dibuat racun. Hal ini dibuktikan bahwa di sebelah barat kota Tuban terdapat daerah yang bernama Jenu. Menurutnya, kata Jenu dan Tubo memiliki arti yang tidak jauh berbeda.

Nama ‘Tuban’ berasal dari sebuah sumber air tawar yang ditemukan di tempat tersebut2. Peristiwa ini membuat orang menamakannya ‘me(tu) (ban)yu” (keluar air). Sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Tuban3. Dulunya Tuban bernama Kambang Putih4. Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 ), Tuban disebut sebagai salah satu yang diteliti oleh De Graaf, disebut sebagai salah satu sumber sejarah Tuban. Tapi buku tersebut lebih memuat tentang masalah pemerintahan serta pergantian penguasa di Tuban, sedang bentuk phisik kotanya hampir tidak disinggung sama sekali.
Berita catatan tentang bentuk phisik kota Tuban secara samar-samar didapat dari berita kapal Belanda yang mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599. Dalam berita itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban (Graaf, 1985:170). Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban10 pada abad ke 16, waktu diadakan latihan Senenan (Gambar 1).
Kota pelabuhan utama di pantai Utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia (tentara Tatar), yang pada th. 1292 datang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk kembali ke negaranya6 (Graaf, 1985:164). Tapi sejak abad ke 15 dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Sesudah abad ke 16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163).
Ekonomi
Pada 2019, Produk Domestik Regional Bruto mencapai Rp 56,5 triliun [1]. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1,12 juta jiwa, pendapatan perkapita diperkirakan mencapai Rp 11,27 juta per tahun. Sebagai perbandingan, pendapatan perkapita Jawa Timur adalah Rp 20,7 juta per tahun.
Sektor perekonomian utama adalah perdagangan, industri pengolahan dan pertambangan. Perdagangan menyumbang output sebesar Rp3 triliun, sedangkan industri pengolahan dan pertambangan masing-masing sebesar Rp 2,9 trilyun dan Rp 1,8 trilyun. Pertumbuhan ekonomi pada 2010 mencapai 6,39%, di mana angka pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor pertambangan sebesar 11,8%.
Kawasan industri Tuban mencapai 50 ribu hektar yang tersebar di 10 kecamatan. Zona 1 di kecamatan Bancar dengan luas 5,802 hektar. Zona 2 34,000 hektar dan Zona 3 9,225 hektar.
Usaha rakyat yang cukup berkembang adalah budidaya padi, budidaya sapi potong, budidaya kacang tanah, penangkapan ikan laut, dan penggalian batu kapur. Sentra padi dan kacang terdapat di sepanjang aliran Bengawan Solo. Pada 2010, jumlah ternak sapi diperkirakan mencapai 1.323 ekor dengan sentra sapi di Kecamatan Bancar. Tangkapan ikan diperkirakan mencapai 9.185 ton.
Seni Budaya
Berikut adalah kebudayaan dan agenda budaya di Tuban:
Sandur merupakan pertunjukan rakyat yang digelar di tanah lapang atau di halaman yang bersifat komunal. Penonton duduk di sekeliling pementasan. Tempat pertunjukan, untuk membatasi dengan penonton dipasang tali berbentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi sekitar 4 meter, tinggi sekitar 1,5 meter. Masing-masing sisi diberi janur kuning sehingga batas itu lebih jelas. Di tengah-tengah sisi sebelah timur dan barat dipancangkan sebatang bambu menjulang ke atas dengan ketinggian sekitar 15 meter. Dari ujung kedua bambu dihubungkan dengan tali yang cukup besar dan kuat. Di tengah-tengah tali diikatkan tali yang menjulur sampai ke tanah tepat ditengah arena. Pada tali baik yang di sisi maupun di atas bambu diikatkan beberapa kupat dan lepet bagian dari sesaji. Di tengah-tengah atau titik pusat arena ditancapkan gagar mayang (rontek) dengan bendera kertas meliputi empat warna hijau (pengganti warna hitam), kuning, merah dan putih.[3]
Lagu Tombo Ati, merupakan lagu ciptaan Sunan Bonang dan menjadi nyanyian dan shalawatan di daerah Tuban pada masa penyebaran Agama Islam. Lagu ini berisikan lima cara untuk menenangkan hati menggunakan metode Islami sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadist. Saat ini lagu Tombo Ati sudah dikenal di seluruh Indonesia dan mancanegara yang dirangkai menjadi berbagai aliran lagu dan bahasa,[4]
Peringatan Haul Sunan Bonang yang diselenggarakan setiap malam Jum'at Wage bulan Muharram (Sura),
Sedekah Bumi, merupakan serangkaian acara yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang didapat dari hasil pertanian,[5]
Demografi
- Agama
Islam 98.74%
Kristen Protestan 0.61%
Katolik 0.48%
Buddha 0.11%
Hindu 0.05%
Konghucu 0.01%[2]
